Sering kita mendengar bahwa
perceraian adalah salah satu solusi... tapi tahukah anda? Ia bukanlah satu satunya solusi, namun ia adalah solusi terahir.
Hukumnya pun beragam, disesuaikan
dengan kondisi, bisa menjadi mubah, sunnah, makruh, haram, atau malah wajib, itu tergantung situasi..
Tapi pada dasarnya perceraian adalah bagian dari program besar iblis. Musuh manusia ini sangat bangga dan senang ketika ada anak buahnya yang mampu memisahkan antara suami-istri.
Munculnya masalah dalam sebuah rumah
tangga merupakan suatu kemestian. Tak satu pun rumah tangga yang luput darinya.
Rumah tangga orang khusus atau orang umum, orang yang berilmu agama ataupun
tidak mengerti agama, pasti menemui yang namanya masalah. Karena demikianlah
kenyataan yang harus dihadapi dalam kehidupan dunia. Dalam menghadapi
perselisihan tersebut diperlukan sikap arif, sabar,
dan pikiran jernih. Bila yang muncul adalah sikap sebaliknya,
perselisihan bisa semakin besar, bahkan tak jarang muncul ancaman dari salah
satu pihak atau kedua pihak untuk bercerai. Padahal perceraian merupakan perkara yang menimbulkan banyak kejelekan, dan tidak semua perselisihan mesti diakhiri dengan perceraian.
Namun sangat disayangkan, ada di antara pasangan suami istri yang begitu cepat
memilih “berpisah” ketika problem itu datang seakan tak ada jalan keluar dari
permasalahan kecuali dengan perceraian (talak). Mereka begitu terburu-buru
memutuskan bercerai tanpa peduli dengan akibat yang akan terjadi. Seakan
lembaga pernikahan tidak memiliki nilai yang agung di sisi mereka, sehingga
sebagaimana mereka terlalu cepat menjatuhkan pilihan teman hidup, tanpa banyak
mempertimbangkan sisi agama, akhlak, kepribadian dan kebaikannya, mereka pun
terlalu cepat memutuskan hubungan yang terjalin lewat pernikahan tersebut.
Asy-Syaikh Shalih
As-Sadlan hafizhahullah mengatakan: “Dalam kenyataannya, jarang didapatkan satu masa dari umur kebersamaan
sepasang suami istri yang terlepas dari masalah dan perselisihan. Karena itulah
kita mesti menerima perselisihan itu, akan tetapi kita tidak menyerah kepadanya
atau tidak tenggelam di dalamnya. Perselisihan itu buruk, dapat mengeruhkan jiwa dan memadamkan cahaya keindahan hidup berumah tangga. Semestinya kita
lari darinya dengan segala jalan. Akan tetapi tidak sepantasnya kita
menyangka malapetaka telah menimpa saat terjadi perselisihan apapun bentuknya,
karena setiap penyakit ada obatnya dan setiap luka ada penyembuhnya. Dengan
menyepakati kaidah ini, akan berjalanlah kemudi kehidupan menuju daratan bahagia
dan keselamatan. Makna dari semua ini adalah tidak tepat bertameng dengan
perceraian karena suatu sebab yang masih mungkin untuk diperbaiki, atau karena
perkara yang mungkin akan berubah di waktu mendatang.” (An-Nusyuz, hal. 34)
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Bazt berkata: “Allah mensyariatkan untuk memperbaiki hubungan antara suami istri dan menempuh cara-cara yang dapat mengum-pulkan keutuhan keduanya dan menjauhi perceraian. Di antara cara penyelesaian (masalah) tersebut, yaitu nasehat, hajr, dan pukulan yang ringan bila dua cara pertama tidak bermanfaat.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ
فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ
أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً
“Dan para istri yang
kalian khawatirkan (kalian ketahui dan yakini) nusyuznya maka hendaklah kalian
menasehati mereka, meninggalkan mereka di tempat tidur (hajr) dan memukul
mereka. Kemudian jika mereka menaati kalian maka janganlah kalian mencari-cari
jalan untuk menyusahkan mereka.” (An-Nisa`: 34)
Termasuk upaya penyelesaian ketika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak adalah mengirim dua hakim, dari pihak suami dan dari pihak istri, dengan tujuan untuk meng-ishlah (memperbaiki hubungan) keduanya.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا
فَابْعَثُواْ حَكَماً مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَماً مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا
إِصْلاَحاً يُوَفِّقِ اللّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ
“Dan bila kalian khawatir
perselisihan di antara keduanya maka hendaklah kalian mengutus seorang hakim
(pendamai) dari keluarga si suami dan seorang hakim (pendamai) dari keluarga si
istri…”. (An-Nisa`:
35) (Al-Fatawa – Kitabud Da`wah, 2/237: 239)
Apabila cara-cara ini tidak
bermanfaat dan tidak mudah memperbaiki keadaan dan perselisihan terus
berlanjut, sementara bila pernikahan tetap dipertahankan yang timbul hanyalah
permusuhan, kebencian dan maksiat kepada Allah Ta’ala, barulah memutuskan untuk
bercerai.
Bercerai berarti hancurnya keutuhan keluarga, sementara kehancuran keluarga merupakan salah satu target yang diincar oleh para setan. Mereka sangat bergembira bila suami berpisah dengan istrinya, anak-anak terpisah dari ayah atau ibunya.
Disebutkan dalam hadis dari Jabir, Nabi ‘alaihis shalatu was salam bersabda,
إن
إبليس يضع عرشه على الماء ثم يبعث سراياه فأدناهم منه منزلة أعظمهم فتنة يجئ أحدهم
فيقول فعلت كذا وكذا فيقول ما صنعت شيئا قال ثم يجئ أحدهم فيقول ما تركته حتى فرقت
بينه وبين امرأته قال فيدنيه منه ويقول نعم أنت
“Sesungguhnya iblis
singgasananya berada di atas laut. Dia mengutus para pasukannya. Setan yang
paling dekat kedudukannya adalah yang paling besar godaannya. Di antara mereka ada
yang melapor, ‘Saya telah melakukan godaan ini.’ Iblis berkomentar, ‘Kamu belum
melakukan apa-apa.’ Datang yang lain melaporkan, ‘Saya menggoda seseorang,
sehingga ketika saya meninggalkannya, dia telah bepisah (talak) dengan
istrinya.’ Kemudian iblis mengajaknya untuk duduk di dekatnya dan berkata,
‘Sebaik-baik setan adalah kamu.’” (HR. Muslim, no.2813).
Al-A’masy mengatakan, “Aku menyangka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Iblis merangkul setan itu’.”
Al-Imam An-Nawawirohimahullah
menjelaskan hadits di atas bahwa Iblis bermarkas di lautan, dari situlah ia
mengirim tentara-tentaranya ke penjuru bumi. Iblis memuji anak buahnya yang
berhasil memisahkan antara suami dengan istrinya tersebut karena kagum dengan
apa yang dilakukannya dan ia dapat mencapai puncak tujuan yang dikehendaki
Iblis. (Syarh Shahih Muslim, 17/157)
Imam al-Munawi mengatakan, “Sesungguhnya hadis ini merupakan peringatan keras,
tentang buruknya perceraian. Karena perceraian merupakan cita-cita terbesar
makhluk terlaknat, yaitu Iblis. Dengan perceraian akan ada dampak buruk yang
sangat banyak, seperti terputusnya keturunan, peluang besar bagi manusia untuk
terjerumus ke dalam zina, yang merupakan dosa yang sangat besar kerusakannya
dan menjadi skandal terbanyak.” (Faidhul Qadir,
2:408)
Sebegitu kuat ambisi Iblis dan
para setan sebagai tentaranya untuk menghancurkan kehidupan keluarga hingga
mereka bersedia membantu setan dari kalangan manusia untuk mengerjakan sihir
yang dapat memisahkan suami dengan istrinya.
disebutkan oleh Allah dalam Alquran
adalah
Allah berfirman,
فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا
يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِه
“Mereka belajar dari
keduanya (Harut dan Marut) ilmu sihir yang bisa digunakan untuk memisahkan
seseorang dengan istrinya.” (QS.
Al-Baqarah:102)
Sikap bermudah-mudah dalam
memutuskan bercerai ini bisa datang dari pihak suami, atau pihak istri, atau
dari kedua belah pihak.
Suami yang bersikap terburu-buru
ini, ketika mendapatkan istrinya tidak seperti yang didambakannya, vonis talak
pun jatuh dari lisannya dengan tidak menaruh iba kepada istrinya yang bakal
menyandang status janda dengan segala fitnah yang mungkin akan menghampiri.
Semestinya ia merasa iba dengan seorang wanita yang lemah, yang butuh dirinya
sebagai pelindung dan pengayom hidup. Seharusnya ia bersabar terhadap
kekurangan yang ada pada istrinya, selama bukan perkara yang syar’i dan
prinsip, jangan dijadikannya sebagai sumber kebencian sehingga menjadi alasan
untuk memutuskan hubungan.
Bukankah RasulullahShalallahu alaihi wasalam pernah bersabda:
Bukankah RasulullahShalallahu alaihi wasalam pernah bersabda:
“Janganlah seorang mukmin
membenci seorang mukminah. Jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya maka
(bisa jadi) ia senang dengan tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘dirohimahullahmenyatakan: “Sepantasnya bagi kalian –wahai para suami– untuk tetap menahan istri kalian dalam ikatan pernikahan (tidak menceraikannya) walaupun kalian tidak suka pada mereka. Karena di balik semua itu ada kebaikan yang besar. Di antaranya adalah berpegang dengan perintah AllahTa’aladan menerima wasiat-Nya yang di dalamnya terdapat kebaikan di dunia dan di akhirat. Kebaikan lainnya adalah dengan ia memaksa dirinya untuk tetap bersama istrinya, dalam keadaan ia tidak mencintainya, ada perjuangan jiwa dan menunjukkan akhlak yang bagus. Bisa jadi ketidaksukaan itu akan hilang dan berganti dengan kecintaan sebagaimana dapat disaksikan dari kenyataan yang ada. Dan bisa jadi ia mendapat rizki berupa anak yang shalih dari istri tersebut, yang memberi manfaat kepada kedua orang tuanya di dunia dan di akhirat. Tentunya semua ini dilakukan bila memungkinkan untuk tetap menahan istri dalam pernikahan tersebut dan tidak timbul perkara yang dikhawatirkan. Bila memang harus berpisah dan tidak mungkin untuk tetap seiring bersama maka si suami tidak dapat dipaksakan untuk tetap menahan istrinya dalam pernikahan.” (Taisir Al-Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan, hal. 173)
Tidak pantas selama-lamanya bagi seorang suami untuk berpikir cerai semata-mata karena perubahan perasaannya terhadap istrinya, atau kebencian yang datang tiba-tiba, atau semata karena ketidaksukaan terhadap sebagian gerak gerik istrinya dan akhlaknya yang tidak berkaitan dengan kehormatan atau agama. Karena yang namanya perasaan itu dapat berbolak balik dan tabiat itu dapat berubah-ubah sehingga tidak tepat perkara-perkara yang berkaitan dengan keberadaan keluarga dibangun di atasnya, demikian kata Asy-Syaikh Shalih As-Sadlan hafizhahullah. (An-Nusyuz, hal. 34)
Al-Imam Al-Hafizh Adz-Dzahabi menghikayatkan satu kisah dalam kitabnya Al-Kaba`ir yang mungkin bisa menjadi renungan dan pelajaran bagi para suami.
Disebutkan,
ada seorang yang shalih memiliki saudara fillah (seagama) dari kalangan orang
shalih pula. Saudaranya ini menziarahinya setahun sekali. Suatu ketika
saudaranya ini mengetuk pintu rumahnya. Berkatalah istri orang shalih tersebut:
“Siapa?”
“Saudara
suamimu fillah datang untuk menziarahinya,” jawab si pengetuk pintu
“Dia pergi
mencari kayu bakar, semoga Allah tidak mengembalikannya (ke rumah ini), semoga
dia tidak selamat,” kata istri orang shalih tersebut dan wanita ini terus mencaci-maki
suaminya.
Ketika
saudara fillah ini tengah berdiri di depan pintu, tiba-tiba orang shalih itu
datang dari arah gunung dalam keadaan menuntun singa yang memikul kayu bakar di
punggungnya. Orang shalih ini pun mengucapkan salam dan menyatakan selamat
datang (marhaban) kepada saudaranya fillah. Setelahnya ia masuk ke dalam rumah
dan memasukkan pula kayu bakarnya. Lalu ia berkata kepada singa tersebut:
“Pergilah, barakallahu fik (semoga Allah memberkahimu).”
Lalu
saudaranya dipersilahkan masuk ke rumahnya sementara istrinya masih terus
mencaci-maki dirinya. Namun tak satu kata pun terucap darinya untuk membalas
cercaan istrinya.
Pada tahun
berikutnya, sebagaimana kebiasaannya saudara fillah ini kembali menziarahi
orang shalih tersebut. Ia mengetuk pintu dan terdengar suara istri orang shalih
tersebut: “Siapa di balik pintu?”
“Fulan,
saudara suamimu fillah,” jawabnya.
“Marhaban,
ahlan wa sahlan, tunggulah. Silakan duduk di tempat yang telah disediakan,
suamiku akan datang insya Allah dengan kebaikan dan keselamatan,” kata istri
orang shalih tersebut.
Saudara
fillah ini pun kagum dengan kesantunan ucapan dan adab istri orang shalih
tersebut. Tiba-tiba orang shalih tersebut datang dengan memikul kayu bakar di
atas punggungnya, saudara fillah ini pun heran dengan apa yang dilihatnya.
Orang shalih itu mendatanginya seraya mengucapkan salam dan masuk ke rumahnya
beserta tamu tahunannya. Istrinya lalu menghidangkan makanan bagi keduanya dan
dengan ucapan yang baik ia mempersilahkan keduanya menyantap hidangan yang
tersedia.
Ketika
saudara fillah ini hendak permisi pulang, ia berkata: “Wahai saudaraku,
beritahulah kepadaku tentang apa yang akan kutanyakan kepadamu.”
“Apa itu
wahai saudaraku?” tanya orang shalih tersebut.
Saudara
fillah ini berkata: “Pada tahun yang awal ketika aku mendatangimu, aku
mendengar ucapan seorang wanita yang jelek lisannya, mengucapkan kata-kata yang
tidak baik dan kurang adab. Wanita itu banyak melaknat. Dalam kesempatan itu
juga aku melihatmu datang dari arah gunung sementara kayu bakarmu berada di
atas punggung seekor singa yang tunduk di hadapanmu. Pada tahun ini aku
mendengar ucapan yang bagus dari istrimu, tanpa ada celaan dari lisannya, namun
aku melihatmu memikul sendiri kayu bakar di atas punggungmu. Apakah sebabnya?”
Orang shalih ini berkata: “Wahai
saudaraku, istriku yang jelek akhlaknya itu telah meninggal. Aku dulunya
bersabar menerima akhlaknya dan apa yang muncul darinya. Aku hidup bersamanya
dalam kepayahan namun aku sabari. Karena kesabaranku menghadapi istriku, Allah
menundukkan untukku seekor singa yang engkau lihat ia memikulkan kayu bakarku.
Ketika istriku itu meninggal, aku pun menikahi wanita yang shalihah ini dan
hidupku bahagia bersamanya. Maka singa itu tidak pernah datang lagi membantuku
hingga aku harus memikul sendiri kayu bakar di atas punggungku, karena aku
sudah hidup bahagia bersama istriku yang diberkahi lagi taat ini.” (Al-Kaba`ir, hal. 195-196)
Di antara para istri ada pula yang
tergesa-gesa minta cerai dari suaminya tanpa alasan yang dibolehkan syariat.
Terkadang masalahnya sepele dan masih mungkin dicarikan jalan keluarnya. Namun
tanpa berpikir panjang ke depan istri ini menuntut cerai dari suaminya.
RasulullahShalallahu alaihi wasalamsendiri telah bersabda:
“Wanita mana saja yang
minta cerai kepada suaminya tanpa sebab (syar’i) maka diharamkan baginya
mencium wanginya surga.” (HR. Ahmad
5/277. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihul Jami’ no. 2703)
Adapun bila ada alasan syar‘i seperti suaminya meninggalkan shalat, kecanduan minuman keras dan obat-obat terlarang, atau si suami memaksanya melakukan perkara yang haram, atau menzaliminya dengan menyiksanya atau tidak memberikan haknya yang syar‘i, sementara nasehat tidak lagi bermanfaat bagi si suami dan istri tersebut tidak mendapatkan jalan untuk memperbaiki keadaan, maka ketika keadaannya seperti ini tidak disalahkan si istri minta cerai dari suaminya guna menyelamatkan agamanya dan jiwanya. (Al-Muharramat Istahana bihan Nas Yajibul Hadzru Minha, hal. 33)
Apabila seorang istri melihat
ketidaksukaan suami terhadapnya dan ia bisa menangkap isyarat-isyarat yang
menunjukkan suaminya ingin berpisah dengannya, sementara ia ingin tetap dalam
ikatan pernikahan dengan suaminya maka perceraian tidak selamanya menjadi
pilihan akhir yang harus ditempuh.
Syariat yang mulia ini memberikan jalan keluar yang lain sebagaimana termaktub dalam firman Allah Ta’ala:
Syariat yang mulia ini memberikan jalan keluar yang lain sebagaimana termaktub dalam firman Allah Ta’ala:
“Dan apabila seorang
istri khawatir akan nusyuz suaminya atau khawatir suaminya akan berpaling
darinya maka tidak ada dosa atas keduanya untuk mengadakan perbaikan/perdamaian
dengan sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik.” (An-Nisa`: 128) [Al-Mukminat,
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal. 144]
Sekali lagi, jangan sampai kita mengabulkan keinginan dan harapan iblis. Pikirkan ulang, dan ingat masa depan anak-anak dan nilai keluarga Anda di mata masyarakat.
Wallahu a’lam bishowab
Semoga bermanfaat
Oleh : Ustadz Abu Riyadl
Nurcholis Majid, Lc
http://salamdakwah.com/google-search.html?q=perceraian
edited :
http://kisahrasulnabisahabat.blogspot.com/
Sumber: http://kisahrasulnabisahabat.blogspot.com/2012/05/perceraian.html
0 komentar:
Posting Komentar
Pesan Positif..? Silahkan..,Yang SPAM.!,Ma'af di DEL..